ARPU
Padahal kalau dilihat dari ARPU (Average Revenue Per User), kita bisa membuat hitung2an gampang. Dengan layanan telepon rumah biasa, operator telepon ini paling2 hanya mendapatkan ARPU sekian puluh ribu rupiah perbulan (dari biaya abonemen/subscription fee telepon rumah). Asumsi ini cukup akurat, mengingat penggunaan telepon rumah makin menurun seirama dengan menjamurnya ponsel. Contohnya di rumah saya sendiri : saya+istri+pembantu semua punya ponsel yang cukup aktif digunakan, sementara telepon rumah hanya digunakan untuk menerima panggilan dari luar saja, sehingga praktis saya cuma bayar abonemen saja tiap bulannya ke operator ini.
Internet Tanpa Batas
Salah satu trik operator telepon ini untuk meningkatkan pendapatan adalah dengan menawarkan layanan tambahan seperti : Internet broadband lewat kabel telepon. Internet broadband ini sendiri akan membawa banyak layanan tambahan lain seperti IPTV, VPN dan sebagainya.
Dengan adanya internet broadband ini memang ARPU akan meningkat secara signifikan. Kalau saja operator ini mau menawarkan internet tanpa batas dengan Rp 100,000.00 tiap bulan, maka artinya ARPU akan meningkat menuju angka rata2 seratus ribu rupiah perbulannya. Di sini kata kuncinya adalah "TANPA BATAS".
Langkah tanggung menuju IP, seperti internet broadband dengan kuota menakutkan pengguna-pengguna Internet rumahan. Karena sudah sering kita dengar tagihan telepon yang melonjak gila-gilaan karena penggunaan internet yang tidak terkontrol. Hal ini sangat masuk akal, karena pada umumnya penduduk Indonesia masih berkutat pada masalah perut. Internet adalah nomor sekian.
Konsekuensi Internet Tanpa Batas
Penawaran Internet tanpa Batas ini akan mengakibatkan ledakan jumlah pelanggan internet via telepon rumah, yang membawa dampak utilisasi backbone operator menjadi meningkat dan kemungkinan menyebabkan jalur-jalur gateway internet menjadi macet (congested).
Ini sebenarnya masalah bagus, tapi kalau tidak ditangani dengan proper akan menyebabkan pelanggan kecewa, dan kabur ke penyelenggara internet alternatif, misalnya internet via kabel. Anda bisa tanyakan pada teman-teman anda yang punya TV kabel di rumah, internetnya pake punya siapa ? Bisa dipastikan mereka pakai internet yang dari kabel, bukan telepon rumah.
Internet lewat TV kabel sebenarnya sama saja dengan internet lewat telepon rumah, hanya saja bedanya di paket pemasaran dan pengolahan gateway internetnya. Dan ini bukan disebabkan teknologinya, melainkan pada konsep dan visi dari perusahaan itu sendiri :
- Internet via TV kabel menawarkan internet tanpa batas dengan biaya yang masuk bujet rumah tangga
- Pengelolaan gateway internet dari perusahaan TV kabel ini jauh lebih baik, sehingga internetnya terasa lebih kencang dan stabil, meskipun bandwidth yang ditawarkan sekelas dengan internet dari operator telepon
Supaya operator telepon bisa sukses menawarkan internet tanpa batas ini, hal paling penting yang perlu diperbaiki adalah "pergeseran paradigma operator berbasis TDM menuju IP". Hal ini penting sekali karena pola pikir berbasis TDM (Time Division Multiplex) memang tidak bisa diterapkan pada IP, sehingga pengelolaan jaringan IP dengan pola pikir TDM akan membawa operator ini ke dalam jalan buntu.
Salah satu contoh betapa pola pikir TDM mengacaukan strategi IP :
- Orang TDM selalu menghitung tarif berdasarkan kanal waktu (kelipatan 64 kbps), sehingga perhitungan tarif backbone IP (ratusan Mbps) menjadi terlalu mahal, mengakibatkan harga jual layanan berbasis IP menjadi mahal
- Orang TDM selalu berpikir bahwa IP harus berjalan di atas infrastruktur TDM, sehingga peningkatan kapasitas IP harus seiring dengan peningkatan kapasitas TDM. Ini jelas anggapan yang salah, karena infrastruktur TDM yang lebih mahal daripada IP menjadi hambatan dan investasi percuma karena IP sebenarnya bisa berjalan dengan lebih cepat dan bagus jika dilepas langsung di atas dark fiber
- Orang TDM mengira perilaku IP seperti TDM, sehingga menyebabkan perencanaan jaringan IP menjadi ruwet dan mahal. Sifat IP yang sangat bebas bergerak ke manapun memang bisa diatur seperti traffic TDM, tetapi hal ini menghilangkan banyak keuntungan dari "kebebasan bergerak" tadi yang berakibat pada mahalnya infrastruktur IP yang dibangun nantinya
- Orang TDM juga mengira sistem tarif IP harus sama dengan TDM. Ini juga anggapan salah, karena di IP kita bisa membuat bermacam2 tarif yang berbeda berdasarkan isi dari IP tadi. Misalnya tarif untuk VoIP lebih mahal daripada Internet, dsb. Sehingga penarifan dapat dibuat sangat fleksibel yang menguntungkan operator dan pengguna
- Orang TDM juga mengira bahwa pipa yang terhubung ke pelanggan akan berisi traffic pelanggan itu sendiri. Padahal di dalam pipa itu banyak juga sampah2 seperti spam, virus, DDoS, trojan, dan segala macam attack yang tidak diinginkan oleh pelanggan... Ini perpengaruh langsung kepada kepuasan pelanggan, karena selain pipa ini jadi lambat, sewa pipa juga jadi mahal karena traffic sampah tadi harus dibayar oleh pelanggan...
3 comments:
Sebuah analisa yg amat logis, dg tarif flat "tanpa batas", kemudian diikuti lonjakan user, akan berakibat occupancy meningkat dan down-grade perform network. Jk SLA dilakukan utk retensi user, mk operator hrs menambah kapasitas bw GW.
Dg ARPU tetap, sementara bw GW (dg tarif US$) apa tidak terjadi loss margin?.
Di dalam skema tarif yang flat, kita bisa terapkan skema QoS yang canggih :
1. aplikasi boros bandwidth (spt P2P, Video, dll) harus dikorbankan terhadap aplikasi interaktif
2. user yang sudah mencapai batas tertentu, akan diperkecil aksesnya (tidak perlu dimatikan), untuk memberi kesempatan pada user lain
Namun sebenarnya cara yang paling ampuh adalah dengan meningkatkan lokal konten.... ;)
Apa yang Bapak tuliskan saya yakin sudah dipahami semua oleh think thanknya Si Operator. Problemnya adalah change management-nya rumit sekali. Benchmark dari telco lain tidak semuanya bisa diimplementasikan di Ind.
Post a Comment