Wawancara ini terjadi pada hari dan tanggal yang sama pada tahun 2018, di mana Jakarta sudah menjadi kota yang bersih dan bebas macet....
T: Dapatkah Anda menjelaskan secara singkat dan jelas mengenai latar belakang perancangan JIC (Jakarta Intelligent City) ini ?
J: Dulu saya tinggal dan bekerja di Jakarta. Jakarta masih termasuk ke dalam salah satu kota yang paling tinggi polusinya di dunia. Jalan-jalan di Jakartapun mengalami kemacetan di mana2, terutama pada hari kerja. Jadi hidup di Jakarta benar-benar tidak nyaman, sehingga saya benar-benar memimpikan untuk membuat Jakarta menjadi kota yang bersih, manusiawi dan berwibawa....
T: Disingkat jadi kayak merek mobil eropa ya ?
J: Hehehe.... Begitulah, saya pikir semua penduduk yang tinggal dan bekerja di Jakarta juga memiliki keinginan yang sama dengan saya. Kemacetan membuat tingkat stress yang tinggi sekali, sehingga ini juga berpengaruh pada perilaku orang2 yang hidup di Jakarta dan sekitarnya saat itu. Selain itu, kemacetan juga berbuntut pada pemborosan yang sangat besar dari sisi subsidi bahan bakar. Subsidi kita saat itu lebih dari Rp 160 triliun, dan semuanya hanya menjadi polusi saja... Alangkah baiknya jika subsidi bahan bakar itu diubah menjadi dana pendidikan, pasti Indonesia akan melaju menjadi bangsa besar suatu saat nanti
T: Perubahan apa dengan kota Jakarta yang akhirnya anda usulkan pada saat itu ?
J: Saya tidak mengerti politik, jadi saya hanya mengusulkan sebuah cetak biru mengenai infrastruktur IT dan Telekomunikasi yang bisa mendistribusikan semua kegiatan bisnis di Jakarta ke kota-kota penyangganya, seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Cetak biru ini juga akan menghidupkan kegiatan kota2 penyangga tersebut, dan akan sangat mengurangi lalulintas ke Jakarta. Greater Jakarta, begitu saya sebut, akan didukung oleh 5 Data Center yang tersebar di semua sudut Greater Jakarta, dan menjalankan virtualisasi yang mendukung ratusan ribu perusahaan yang beroperasi di seputar Greater Jakarta
T: Bagaimana caranya 'memaksa' pelaku bisnis berpindah ke lokasi pinggiran ?
J: Waktu itu saya usulkan insentif pajak. Perhitungan pajak dibuat sedemikian rupa, sehingga secara total pajak yang disetorkan ke pemerintah tidak berubah. Prinsipnya pajak di Jakarta ditingkatkan, sementara di luar Jakarta diturunkan. Secara keseluruhan pemerintah akan diuntungkan, karena perpindahan ini akan membuat Jakarta lebih kosong, lebih bersih, tidak ada lagi penghamburan bahan bakar, dan at the end rakyat Indonesia akan sangat diuntungkan !
T: Bagaimana Anda mengukur sukses pada saat itu ?
J: Saya merasa sukses ketika usulan saya diterima, dikaji, kemudian dilaksanakan, dan saya merasa lebih sukses ketika mulai melihat pembangunan2 dikonsentrasikan di luar Jakarta, dan akhirnya benar2 merasa sukses dan bahagia ketika langit di Jakarta mulai biru awan tampak putih bergumpal2, dan saya bisa lari2 pagi sambil menghidup bersihnya oksigen di sepanjang koridor busway di jalan Sudirman (btw., saat itu jalur busway sudah kosong dan bisa digunakan untuk lari pagi). Selain itu, saya lebih berbahagia lagi ketika melihat bahwa sekolah dasar sampai lanjutan atas sudah tidak memungut biaya lagi untuk apapun berkat pengalihan subsidi bahan bakar ke pendidikan. Dan setiap anak di sekolah sudah memiliki laptop sendiri2 :)
T: Apakah ada yang Anda anggap gagal ?
J: Satu2nya kegagalan yang saya rasakan adalah kurang berhasil mengusahakan agar usul saya diterima lebih awal....
Catatan : Wawancara ini fiktif, tetapi bisa benar-benar terjadi kelak asalkan ada komitmen dari setiap orang. Karena masalah kita saat ini bukanlah teknologi atau dana...
No comments:
Post a Comment