Wednesday, September 10, 2008

“Bekerja dari Rumah” menuntut Kedewasaan Karyawan dan juga Perusahaan

Konsep “bekerja dari rumah” memperbolehkan karyawan bekerja dari mana saja : di rumah, di coffee shop, atau bahkan di dalam kendaraan. Konsep ini kalau diimplementasikan dengan baik akan membawa banyak sekali keuntungan, antara lain :

  • lebih efisien karena kita terhindar dari kemacetan di jalan (terutama di kota besar seperti Jakarta)
  • lebih murah karena kita tidak perlu bepergian (menghemat ongkos taksi atau bus atau bensin)
  • lebih aman karena kita tidak perlu terekspose dengan segala macam mara bahaya di jalanan
  • mengurangi polusi di dalam kota, karena kita tidak perlu naik kendaraan bermotor
  • lebih sehat karena kita bisa bekerja di rumah yang lebih bersih daripada musti menghabiskan waktu di jalanan
  • dan lain-lain sebagainya

Kebanyakan perusahaan yang bergerak di bidang teknologi tinggi sudah menerapkan hal ini, dan mendapatkan banyak sekali keuntungan yang nyata :

  • pengeluaran kantor lebih sedikit karena ukuran kantor jadi lebih kecil, dan pengeluaran untuk snacks juga dikurangi di kantor
  • biaya listrik di kantor dihemat, karena ukuran kantor mengecil
  • ruangan parkir juga mengecil, dengan sendirinya makin murah…

Tingkat kesuksesan konsep ini sangat bergantung pada faktor manusianya. Di sini sangat dituntut kedewasaan cara berpikir. Karyawan yang berpikiran tidak dewasa akan cenderung menyalahgunakan fasilitas ini, misalnya menggunakan waktu bekerja untuk bermain atau mengerjakan pekerjaan sampingan.

Hal yang aneh bin ajaib juga kadang-kadang ditemui pada perusahaan dengan manajemen yang masih hijau. Para manajer ini masih dalam taraf belajar, dan masih gamang menerapkan aturan “bekerja dari rumah”. Alih-alih memanfaatkan teknologi untuk mendapatkan hasil yang semaksimal mungkin, mereka biasanya menerapkan aturan canggung yang tidak jelas seperti di bawah ini bahkan untuk karyawan lapangan (yang pekerjaannya memang menuntut untuk selalu berada di pelanggan) :

  • di rumah disediakan broadband Internet, tetapi hanya boleh dipakai dari pukul 17:00 sampai 08:00
  • hari kerja antara pukul 08:00-17:00 karyawan harus berada di luar rumah, meskipun tidak ada pekerjaan
  • setiap pagi manajer akan menelpon karyawannya dan menanyakan posisi ada di mana
  • kalau sedang tidak ada pekerjaan di pelanggan, karyawan harus duduk di kantor meski hanya untuk menjawab email
  • karyawan harus langsung menjawab setiap panggilan telpon/sms atau email karena sudah disediakannya ‘fasilitas’ kantor berupa broadband internet dan ponsel cerdas (artinya karyawan dipaksa kerja lebih dari 16 jam sehari)
  • pada hari libur atau cuti, karyawan harus tetap responsif pada setiap panggilan telpon/sms atau email, sepanjang karyawan tetap berada dalam liputan sinyal selular/wifi…

Kalau begini caranya maka konsep “bekerja dari rumah” yang indah tadi hanyalah menjadi lelucon belaka. Akibatnya tentu bisa ditebak – kepuasan karyawan yang menukik dan turnover yang meningkat…

Oleh karena itu, jika anda adalah pimpinan perusahaan yang memang serius ingin memanfaatkan leading edge teknologi untuk mendapatkan segala keuntungan dari konsep “bekerja dari rumah” – bersikaplah dewasa, berpikirlah dengan hati, dan berlakulah dengan arif dan bertindak dengan penuh integritas. Jadilah pemimpin yang bijaksana. Pemimpin seperti ini akan disegani, dan menjadi faktor utama dalam keberhasilan implementasi “bekerja dari rumah”. Bukankah sangat membahagiakan bagi semua karyawan untuk bekerja di suatu tempat yang adem, nyaman, fleksibel, seimbang, harmonis, dengan tetap menjaga prestasi ?

DISCLAIMER : Semua contoh yang saya cantumkan di sini adalah fiktif. Jika ada kejadian yang mirip, maka itu hanyalah kebetulan belaka.

3 comments:

Anonymous said...

gimana sih pak masa ada perusahaan yg kontradiktif gitu policynya?

kalau dari awal sudah menerapkan konsep 'bekerja dari rumah' ya harusnya sudah siap dan percaya dengan karyawannya, masa harus dikontrol lagi? kemana teknologinya? sia-sia belaka doong! kalau gitu untuk apa susah2 buat policy 'bekerja dari rumah'?

atau mungkin managernya yang harus ditraining? :D

Anonymous said...

saya punya cerita menarik, saya baru saja pindah kerja di perusahaan yang mempunyai fasilitas vpn sehingga kita bisa bekerja dimana saja, termasuk dari rumah. Awalnya saya sangat senang karena saya akhirnya bisa antar anak sekolah, dan aktifitas pagi lainnya dengan lebih santai dalam arti tidak buru-buru karena harus mengejar jadwal KRL spt sebelumnya. Memasuki bulan kedua, saya mulai merasa terpenjara dengan aktifitas pekerjaan, meskipun fisik ada di rumah, tapi pikiran ada di kerjaan yang dikejar deadline, submission date, dll. Bulan ketiga makin parah, siang hari meeting dan jalan ke customer, sementara malam harinya harus kembali berjibaku dengan dokument, kirim dan jawab email, dll meskipun memang dari rumah. Sekarang, saya hanya berharap PLN bangkrut dan tidak bisa supply elektrik kemana-mana :((

Anonymous said...

Saya pernah bekerja di salah satu perusahaan termasuk peringkat 10 besar tempat bekerja paling baik versi majalah Forbes, yang berkonsep bekerja dari rumah.
Untuk sebuah perusahaan yang "result oriented" tidak melulu membutuhkan kedewasaan karyawan melainkan mutlak membutuhkan kedewasaan manajemen (di Indonesia) tentunya. Kalau karyawan tidak dewasa pastilah "deadline" dan "numbers" yang dibebankan tidak akan bisa tercapai. Dan karyawan jenis ini pastilah "gampang dilupakan" oleh perusahaan.
Apa yang saya alami, bekerja dari rumah lebih bersifat jargon marketing perusahaan ke publik seolah-olah bahwa perusahaan telah membebaskan karyawannya untuk bekerja dimana saja termasuk rumah, gerai kopi. Saya pikir ini lebih banyak kata-kata indah ketimbang keniscayaan karena lebih banyak "jebakan Batman", ketidakpercayaan, kecurigaan dari manajemen.
Menurut saya bekerja di rumah pasti ada keuntungan dan kerugiannya. Karyawan akan lebih banyak dirugikan karena implementasinya dilakukan setengah hati. Dengan kondisi jalanan yang super macet paling tidak membutuhkan 3-4 jam untuk rute rumah-kantor-rumah. Sesampainya areal kantor terutama ketika kembali dari pelanggan, mesti bersabar mencari parkir butuh 30 menit, celakanya jika parkir penuh ujung-ujungnya harus bekerja di bawah kecurigaan manajemen di gerai kopi terdekat di mall yang mengusung konsep town square. Untuk mencapainya butuh sekitar 30 menit sampai 1 jam ! Ada potensi waktu 4-5 jam hilang begitu saja, ditambah kemacetan dan panasnya Jakarta tentu akan memengaruhi suasana hati untuk bekerja lebih produktif.
Nah, apa keuntungan policy "bekerja dari rumah" tapi harus ke kantor juga? Jawabnya tidak ada. Sebab kita, mau tak mau suka tak suka, akan manggadaikan 4-5 jam waktu tidur, sebagai kompensasi "kehilangan waktu" di siang hari. Sementara deadline tak peduli dengan kondisi fisik kita. Mau?