Dalam menyambut datangnya bulan puasa ini saya mengucapkan : “Selamat menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan ini, mohon maaf lahir dan batin”.
Entah mengapa saya tiba-tiba ingin menyinggung tentang rokok – mungkin karena saya punya seorang teman perokok berat yang bisa menghabiskan beberapa bungkus rokok sehari. Kebiasaan ini hanya bisa berhenti pada tidur atau pada saat puasa. Di bulan puasa ini, menu berbukanya sangat sederhana : segelas air dan sebatang rokok yang segera dihisap dengan penuh kenikmatan segera setelah azan maghrib berkumandang…
Baginya rokok lebih penting daripada makan.
Saya dibesarkan oleh lingkungan dengan orang-orang yang gemar merokok. Saya sendiri pernah mencoba merokok karena pengaruh teman-teman sewaktu saya masih SMP. Meskipun saya pernah tahu nikmatnya merokok, tapi saya sendiri tidak pernah menjadi kecanduan. Dan saya berhenti total dari rokok semenjak lulus kuliah dan bekerja di sebuah perusahaan IT yang mengharamkan rokok di lingkungan kerja.
Saya mungkin termasuk orang yang beruntung karena bisa menghentikan rokok di saat saya memiliki kemampuan finansial untuk membeli rokok apapun yang saya inginkan.
Tahukah anda bahwa di dalam konsumsi rokok, Indonesia menduduki tempat 5 terbesar di dunia dengan lebih dari 200 milyar batang rokok dibakar setiap tahun ?
Indonesia didominasi oleh orang-orang miskin (yang jumlahnya bertambah banyak). Orang-orang ini banyak mengeluh mengenai betapa mahalnya biaya hidup dan pendidikan namun mereka tidak pernah mengeluh betapa mahalnya biaya merokok, padahal menurut survey Susenas (Survey Sosial Ekonomi Nasional) penduduk miskin Indonesia membelanjakan 12% uangnya untuk rokok, dan ini menempati urutan nomor dua setelah membeli beras yang 19% !
Angka ini sangat tinggi, mengingat anggaran untuk pendidikan hanya 1.47%, daging 0.85%, susu/telur 2.34%.
Seorang petani mau membelanjakan Rp 247,000 sebulan untuk rokok, tetapi keberatan untuk membayar SPP anaknya yang Rp 7,000 sebulan.
Negara Indonesia memang mendapat uang dari cukai rokok sebesar Rp 32.6 Triliun (angka ini senilai dengan harga 10 juta unit komputer high end), tetapi ini belum seberapa dibanding dengan kerugian berupa hilangnya produktivitas karena kematian dini, sakit, dan cacat karena rokok sebesar Rp 167.1 Triliun….
Sumber dari : http://bem.ui.edu/v1/?p=63
Pemerintah sendiri memiliki masalah lain. Industri rokok merupakan industri padat karya. Ada lebih dari 4 juta pekerja jika ditambah dengan anggota keluarganya angka ini menggelembung menjadi 24 juta pekerja.
Jadi memang menghentikan kebiasaan merokok ini tidak mudah, dan butuh proses yang cukup lama.
Namun jika kita tidak mulai prosesnya dari sekarang, kapan kita bisa dapatkan generasi Indonesia yang bebas dari kecanduan asap rokok ?
2 comments:
Ton,
Kalau ngerokok mah elu tabah aja... g sendiri bulan puasa bisa tahan kok... kalau mau berhenti bisa aja... lg code g berhenti ...tp kalau mikir kadang enak ngerokok deh... ha ha ha...
merokok juga nikmat untuk mencari aspirasi. Jadi tdk selamanya negatif. OK bos
Post a Comment